Jumat, 13 Agustus 2010

CINTA Bisa Menjadi Hitam atau Putih



getar dan rindu,

tak pernah henti

mengungkap satu kata abadi

tentang cinta dan nama terindah

tentang jiwa yang s’lalu memuja

hanya pada-Mu…


Cinta. Satu kata yang selalu menarik untuk dibicarakan dan dibahas. Cinta akan menjelma menjadi legenda dalam benak-benak manusia sesuai dengan latar belakang, pemahaman, tujuan, dan kepentingan orang-orang yang membicarakannya. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Demikianlah cinta. Tak pernah lelah memoles lisan-lisan manusia. Tak pernah letih bertengger di kalbu-kalbu segenap insan. Tak pernah henti menyusup dalam tulisan-tulisan anak Adam. Mengalir. Menelusuri masa. Mengiringi perjalanan sejarah anak manusia.


Cinta. Satu kata. Dalam maknanya. Terkadang, aromanya demikian semerbak, menggugah jiwa-jiwa yang hampa dan beku. Laksana mawar-mawar merah yang merekah di taman-taman surgawi, harum berlumur kesturi. Siapapun yang mencium ranum aromanya, akan terbuai dan terbang ke alam yang tak pernah ia ketahui. Meraih mimpi-mimpi dan harapan bahagia. Dan, ia pun siap memperbudak diri demi cinta.

Namun, terkadang, baunya bisa menjadi sangat busuk. Sebusuk bebangkai yang berserakan di pelataran bumi. Menyiksa dan membunuh jiwa-jiwa yang gelap tanpa cahaya. Siapapun yang mencium hawa busuknya, akan memuntahkan sejuta sesal dan cacian yang tajam. Dan, ia pun siap menempuh seribu satu cara untuk menjauhinya.

Cinta. Dengannya, seseorang akan memiliki jiwa yang kokoh. Ia memiliki energi untuk membangun masa depan. Meraih cita-cita. Menggapai impian-impian. Ia sanggup dan rela mengorbankan segalanya karena cinta. Cinta telah membakar semangatnya. Memaksanya untuk terus berjuang. Membuatnya tegar dalam hantaman badai dan topan. Karena sebab cinta, ia menjadi orang yang paling merdeka ; tanpa sekat-sekat pembatas antara ia dengan cintanya.

Namun, dengan sebab cinta pula, seseorang akan menjadi pribadi yang sangat rapuh. Selayaknya dahan kering lapuk yang dimakan “serangga” waktu. Cinta telah menghempaskannya di ujung-ujung lara. Menghimpitnya di sudut-sudut kehidupan nan pekat. Masa depan hancur. Cita-cita memudar. Putus asa. Tak berdaya. Karena cinta.

Cinta. Dengan sebabnya, seseorang akan bisa menjadi raja yang bertahta di atas singgasananya, di dalam istana-istana megah yang terbentuk oleh peradaban. Dan, dengan sebab cinta pula, seseorang akan bisa menjadi budak sahaya yang hina, yang harus selalu memeluk kerasnya zaman dan tidur beralaskan kenistaan.

Cinta. Dengan sebabnya, seseorang akan bisa mewujudkan penghambaan diri nan sempurna kepada Rabb-nya. Tunduk di bawah segenap perintah dan larangan. Menyerahkan hidup dan mati hanya untuk-Nya. Mengabdikan diri sepenuh hati, sepenuh cinta. Siap mengorbankan harta, jiwa, dan raganya demi Dzat yang dicintainya. Menangis dan tertawa karena-Nya. Takut, berharap, dan rindu bertemu dengan-Nya. Menempuh perjalanan panjang menuju kepada-Nya. Bersabar karena-Nya. Tawakkal dan taubat pada-Nya. Cinta dan benci di jalan-Nya. Marah dan ridha karena-Nya. Seluruh gerak langkah hidup adalah untuk-Nya semata. Semua bersumber dari cinta.

Namun, dengan sebab cinta pula, seseorang akan bisa menghambakan diri kepada yang selain Allah. Menyembah dan memujanya dengan pemujaan cinta, dengan pengagungan yang tinggi. Menyebut namanya penuh getaran rindu nan menyayat kalbu. Menyerahkan segenap derap hidup hanya untuk sesembahannya. Karena cinta. Untuk cinta. Demi cinta. Ia memutuskan hubungannya dengan Allah, kemudian mengikat diri dengan sesembahan lain yang dicintainya bersama belenggu-belenggu kesyirikan.

Dengan sebab cinta pula, seseorang mengotori diri sendiri dengan lumuran aqidah bathilah dan amalan muhdatsah. Kecintaannya kepada penyimpangan, membuatnya tak segan mengubur As-Sunnah, dan kemudian bercumbu-rayu dengan bid’ah. Jiwanya semakin redup seiring redupnya al-haq dalam dirinya ; hingga akhirnya padam sama sekali. Karena cinta.

Karena alasan cinta pula, seseorang memanjakan diri dengan lumuran maksiat. Sukmanya memuja penuh damba terhadap kelezatan dan kenikmatan semu, sesaat. Cinta telah membisikkan kata-kata terindah berpoleskan ma’ashi. Atas nama cinta. Jiwanya sakit, airmata bercucuran, manakala berpisah dengan cintanya. Padahal cinta itu –pada hakikatnya-justru bak sirup beracun yang membunuhnya perlahan-lahan. Tidak akan menyisakan apapun kecuali kepahitan dan kesengsaraan sepanjang hayat, sampai ia mau meninggalkan cinta maksiatnya itu. Semakin besar kecintaannya, semakin puas ia merengguk segenap sari madu berbumbu dosa. Semua karena cinta.

Demikianlah. Ternyata, betapa kompleks dan peliknya persoalan cinta. Bisa menjadi hitam atau putih. Baik atau buruk. Membahagiakan atau menyakitkan. Tergantung, di kalbu siapakah cinta meresap, berdasarkan garis ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan segenap ilmu dan hikmah-Nya.


CINTA TANPA KOMA

Bicara tentang cinta pasti nggak pernah ada habisnya. Akan selalu ada cerita. Beragam cerita tentang berbagai versi cinta di dalamnya. Cerita bahagia. Cerita sedih. Cerita tentang kemarahan. Cerita tentang kerinduan. Cinta kepada orang tua. Cinta kepada sahabat. Cinta kepada saudara. Cinta kepada kekasih. Cinta kepada kekuasaan. Cinta kepada kekayaan.

Tapi, adakah cinta sejati di antara semua itu? Cinta yang dapat membuat pengorbanan dilakukan tanpa penyesalan. Cinta yang mampu melahirkan sejatinya kebahagiaan.

Ramai orang berlomba mencari cinta yang sesungguhnya. Mereka mencari, kita mencari, menapaki jalannya masing-masing dengan caranya sendiri. Ada yang dengan memperturutkan hawa nafsu, menjadikan diri sendiri sebagai satu-satunya penentu. Sehingga tidak heran bertebaranlah cinta rela mati ala Romeo dan Juliet atau ala Jack ‘n Rose. Sehingga lahirlah perayaan berhala cinta ala Juno Februata atau ala Dewa Zeus dan Hera. Cinta liar. Cinta tanpa akal. Cinta tanpa perenungan.

Lalu bagi kita, cinta sejati seperti apakah yang akan kita perjuangkan? Cinta sejati seperti apakah yang layak kita miliki dan bagi?

Cinta sejati yang terabai

Manusia ada karena diciptakan oleh Sang Penguasa Alam Semesta, Allah Swt. Allah telah ciptakan manusia dengan rasa butuh. Manusia membutuhkan makanan-minuman, pakaian dan tempat tinggal untuk bisa tetap menjalani kehidupan. Manusia membutuhkan perlindungan untuk bisa hidup dengan aman. Manusia membutuhkan pendidikan agar mampu berkembang.

Allah ciptakan manusia dengan kemampuan merasa: haru, marah, suka, takut, sedih, takjub, kecewa, cinta. Sehingga hidupnya bisa dijalani dengan lebih berwarna.

Allah ciptakan manusia dengan menyediakan segala isi bumi dan langit diperuntukkan bagi manusia. Allah curahkan air dari langit sebagai penyubur tanaman. Allah ciptakan laut dan sungai beserta makhluk di dalamnya. Allah telah ciptakan padang rumput untuk manusia bisa gembalakan hewan ternak bagi kepentingannya. Allah telah ciptakan pepohonan sehingga manusia bisa berteduh dan membuat tempat tinggal.

Allah telah ciptakan padi, gandum, jagung, ketela untuk mengenyangkan perut manusia. Allah telah ciptakan api dan barang tambang sehingga manusia bisa hidup lebih nyaman. Air, api, udara, tanah, Allah sudah serahkan semuanya bagi manusia. Allah telah hadirkan akal pada manusia sehingga mampu selalu memajukan hidupnya. Dan itu yang teristimewa. Namun, apa yang telah manusia perbuat untuk membalas cintaNya?

Cinta Allah dibalas dengan pendustaan terhadap perintah dan laranganNya. Cinta Allah dibalas dengan penolakan untuk berhukum berdasarkan aturanNya. Yang halal tidak dipedulikan! Yang haram dilanggar! Cinta Allah dibalas dengan pelalaian, pembohongan, dan keengganan untuk taat sepenuhnya, untuk mengabdi sepenuh jiwa. Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. hanya dipakai sesekali, tidak untuk dikaji lagi dan ditaati. Ironis. Miris.

Cinta sejati tak akan pernah menyakiti

Cinta Allah kepada makhlukNya adalah ampunan dan nikmatNya atas mereka, dengan rahmat dan ampunanNya, serta pujian yang baik kepada mereka. Cinta Allah kepada kaum mukmin adalah pujian, pahala, dan ampunan bagi mereka (Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, hlm.: 42)

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari hadist Anas bin Malik r.a. Dia berkata: “Rasulullah saw bersabda tentang apa yang beliau riwayatkan dari Rabnya. Dia berfirman : ‘….Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar. Aku menjadi matanya yang ia gunakan untuk memandang. Aku menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memegang. Aku menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. DenganKu ia mendengar, denganKu dia memandang, denganKu dia memegang, denganKu dia berjalan. Seandainya ia meminta kepadaKu, niscaya Aku benar-benar memberikan kepadanya permintaanya, dan seandainya dia berlindung kepadaKu, niscaya Aku benar-benar melindunginya….”

Dari Anas r.a., sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:”Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya ia telah menemukan manisnya iman. Yaitu orang yang mencintai Allah dan RasulNya lebih dari yang lainnya, orang yang mencintai seseorang hanya karena Allah, dan orang yang tidak suka kembali kepada kukufuran sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke Neraka.(Mutafaq ‘alaih)

Indah. Teramat indah cinta yang Allah Swt. anugerahkan kepada manusia. Cinta yang melebihi cinta semua makhluk di seluruh jagad raya. Kalau kita membalas cinta itu dengan tulus dijamin tidak akan pernah bertepuk sebelah tangan, bahkan balasannya melebihi apa yang kita mampu perkirakan.

Itulah cinta Allah, cinta sejati. Cinta yang nggak akan pernah menyakiti.

Cinta Allah bagi para hambaNya sudah sangat jelas tidak akan pernah lekang oleh jaman. Nggak pernah habis digerus kondisi, situasi, dan waktu. Lalu bagaimana sebaliknya? Balasan seperti apa yang sepatutnya kita persembahkan bagi Allah? Pastinya cinta haruslah dibalas dengan cinta. Cinta yang seperti apa? Al Zujaj berkata, “Cintanya manusia kepada Allah dan RasulNya adalah menaati keduanya dan ridlo terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah saw.”

Di sebuah kisah, Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman datang bertamu ke rumah Ali. Di sana mereka dijamu oleh Fathimah, putri Rasulullah sekaligus istri Ali bin Abi Thalib. Fathimah menghidangkan untuk mereka semangkuk madu. Ketika mangkuk itu diletakkan, sehelai rambut jatuh melayang dekat mereka. Rasulullah segera meminta para sahabatnya untuk membuat perbandingan terhadap ketiga benda tersebut, yaitu mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut. Malaikat Jibril yang hadir bersama mereka, turut membuat perumpamaan, “Menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik. Menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut.” Allah Ta’ala, pun membuat perumpamaan dengan firmanNya dalam hadits Qudsi, “SurgaKu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu. Nikmat surgaKu itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju surgaKu lebih sulit dari meniti sehelai rambut.” (Sabili No.09 Th.X)

Cinta kita kepada Allah akan mampu membuat kita rela berkorban apa saja demi Dia, membuat kita akan terus mengingatNya, tunduk terhadap segala tuntunanNya, dan bersabar atas segala ujian dariNya. Tanpa kita was-was kalau cinta kita tidak berbalas. Allah sendiri yang menjanjikan seperti yang termaktub dalam hadist Qudsi di atas. Surga. Memang akan selalu muncul rintangan di tengah perjalanan. Akan ada jalan terjal menuju ke sana. Namun Allah sudah pastikan surga itu nyata ada buat kita.

Cinta kepada Allah memang harus diletakkan di atas segalanya. Namun, bukan berarti cinta kita kepada manusia yang lain tersingkirkan. Cinta seperti itu seharusnya tetap ada dan memang akan terus ada karena secara alami Allah telah ciptakan bagi kita. Namun, harus dipastikan bahwa iman yang menjadi satu-satunya sandaran. Sandaran bagi cinta. Sandaran bagi benci kita.

Allah berfirman dalam hadist Qudsi:”KecintaanKu pasti akan diberikan kepada orang-orang yang saling mencintai karenaKu. KecintaanKu berhak diperoleh oleh orang-orang yang saling mengunjungi karenaKu. Kecintaanku berhak diperoleh olah orang yang saling memberi karenaKu. KecintaanKu berhak diperoleh oleh orang yang saling menjalin persaudaraan karenaKu.”

Keindahan cinta seperti itu pernah ditunjukkan oleh Suhail bin Amr, Ikrimah bin Jahal, dan Al Harist bin Hisyam. Ketiganya adalah syuhada di Perang Yarmuk tahun 15 H. Saat itu mereka bertiga mengalami dahaga yang luar biasa. Para sahabat yang mengetahui itu segera membawakan air kepada Ikrimah. Namun Ikrimah menolak karena dia melihat Suhail merasakan yang sama. Ikrimah meminta para sahabat memberikan air itu kepada Suhail. Rasa haus sudah mencengkeram kerongkongan, namun di titik nafas penghabisan itu Suhail melihat Al-Harits bin Hisyam juga sedang kehausan. Dia meminta air itu diberikan kepada Al Harits. Ketika air itu tiba, ternyata Al Harits sudah tiada. Air itu segera dibawa ke Ikrimah kembali, ternyata dia pun sudah tidak bernafas lagi. Sahabat langsung membawakan air kepada Suhail, ternyata kondisi Suhail pun sama, sudah gugur menjadi syuhada. Akhirnya mereka bertiga syahid dalam pengorbanan dan kesetiaan kepada saudara seiman, seakidah, dan tentunya wafat dalam berjuang di jalan Allah, jihad fisabilillah.

Jangan sampai iman pudar lalu hawa nafsu yang menang. Ketika itu yang terjadi maka cinta Allah yang agung tidak akan pernah bisa diindera, dirasa. Cinta antar manusia pun hanya akan berbuah malapetaka. Keinginan kita menuju surgaNya akan sirna.

“Betapa buruk pemuda yang memiliki budi pekerti

dipaksa mengorbankan adab karena nafsu diri

kehinaan didatangi padahal ia mengetahuinya

kehormatannya terkoyak dan kehinaan dijaga

kesadarannya bangkit tatkala dia jatuh terjerembab

dia menangis tatkala tak mampu lagi bangkit” (Syair Abu Bulaf al-Ajly)

Allah Swt. masih memberikan kesempatan bagi kita untuk mencintaiNya dan kita masih memiliki peluang untuk menerima curahan kasih sayangNya. Lalu mengapa kita tidak berusaha mewujudkan itu pada diri kita? Jangan sampai ada rasa sesal di kemudian hari karena kesempatan yang berharga telah hilang dari diri.

Cinta Allah akan senantiasa mengalir bagi para hambaNya. Siang. Malam. Saat manusia terjaga. Saat manusia terlelap. Ketika manusia ingat. Ketika manusia khilaf. Tiap detik helaan nafas. Tiap hentakan langkah yang kita buat. Tiap waktu cinta Allah hadir selalu. Cinta tanpa titik akhir. Tanpa jeda. Cinta tanpa koma. Kita pun wajib membalasnya dengan upaya sekuat tenaga untuk mengokohkan iman, memelihara perjuangan, tentunya diiringi doa dan ketulusan. [nafiisah: http://nafiisahfb.co.cc]

0 komentar:

Posting Komentar