Kamis, 14 Oktober 2010

Dari Singapore ke Sawahlunto

Jadi ‘Indiana Jones’ di Sawahlunto

Beberapa waktu silam saya pernah mendengar cerita dari seorang teman yang memamerkan pengalamannya berkunjung ke sebuah kota mati nun jauh di Amerika sana. Kota mati bak di film-film koboi, lengkap dengan tambang-tambang batubaranya itu menjadi sebuah aset wisata, bahkan katanya pengunjung juga dapat kesempatan masuk ke tambang-tambang dan melihat sendiri situasi di dalam.

Siapa menyangka, bertahun-tahun kemudian saya berkesempatan juga melakukan perjalanan yang sama, bukan di kota mati tapi ke kota yang masih sangat hidup bahkan kaya budaya. Bukan pula ke Amerika sana tapi cukup ke sebuah kota di Sumatra Barat yang sejak SD sudah saya kenal namanya sebagai pusat produksi batubara terbesar dengan kualitas terbaik. Nama kota itu Sawahlunto.

swl71.JPG

Sawah lunto dari atas bukit dengan bekas bangunan pengolahan tambang batubaranya.

Sejak memasuki Sawahlunto, bayangan yang saya dapat dari pelajaran di SD dulu keburu sirna oleh keindahan kotanya.

Jendela depan mobil yang saya tumpangi bak sebuah layar yang memutar film petualangan mencari sebuah kota di tengah daerah perbukitan yang misterius. Makin tercengang saya ketika setelah sekian jam hanya melihat bukit dan bukit sejauh mata memandang, dari ‘layar’ di hadapan saya mencuat sebuah menara mirip silo silo reaktor nuklir yang ternyata adalah bekas pabrik pemrosesan batu-bara yang hingga kini masih dipelihara.

“Ada yang menyebut kota ini Hongkong di waktu malam, ada yang menyebutnya kota tambang ala Amerika, tapi masyarakat disini menyebutnya kota kuali,” kata Pak Guspriyadi, seorang staf Dinas Pendidikan yang mengantar saya ‘berpetualang’ di Sawah Lunto. Pantas saja, ternyata letak kota itu memang seperti berada dalam kuali diantara perbukitan yang mengelilinginya. Petualangan baru dimulai, pikir saya.

Dalam satu hari saja saya diajak mengelilingi kota, termasuk juga memasuki dua buah tambang batubara yang membuat dagu ini terus terjatuh saking kagumnya.

Tambang pertama yang saya kunjungi terletak di tengah kota. Mana ada yang menyangka bahwa di bawah kota itu ada sebuah tambang batubara kuno. Konon seratus tahun lalu tambang kuno itu diurug oleh Belanda ketika mengetahui Jepang akan mengambil alih kota itu. Setelah diurug, di atas areal pertambangan dibangun rumah-rumah penduduk sehingga Jepang benar-benar tertipu. Melengkapi ‘penipuan’ itu, konon disebarkan pula mitos di kalangan masyarakat bahwa tambang itu angker sehingga tak ada yang berani mendekat.

swl51.JPG Tampak suasana tambang dari luar.

“Dari dulu, cuma Pak Walikota sekarang inilah yang berani membuka kembali tambang itu,” kata seorang warga yang bermukim di dekat tambang. Tambang kuno itu kini sudah dibuka dan masih terus dalam proses pengerjaan. Diperkirakan seluruh lorong-lorongnya akan berujung di berbagai tempat termasuk di masjid tua di pusat kota. Saya beruntung bisa memasuki tambang itu karena ia masih dalam tahap pengerjaan dan masih belum dibuka untuk umum.

Usai menelusuri tambang, sebagai pelengkap kami berkunjung ke Musium Goedang Ransoem yang dulu merupakan dapur umum yang menyediakan makanan bagi para pekerja tambang yang dikenal dengan manusia rantai karena mereka memang didatangkan dari berbagai kawasan di Indonesia dengan kaki terikat rantai. Di musium itulah masih tersimpan kuali-kuali raksasa tempat masak. Para manusia rantai itu sendiri masih bisa dilihat kehidupannya melalui tayangan video yang tersedia bagi para pengunjung.

Tambang kedua yang saya kunjungi adalah benar-benar tambang yang masih berfungsi. Ditemani seorang petugas, kami sempat masuk sekitar 200 meter ke dalam tambang lengkap dengan helem dan ikat pinggang kulit tempat menggantungkan aki yang tersambung ke lampu di depan helem.

“Alamak, dah macam Indiana Jones lah!” bisik seorang teman warga Singapura dari Persatuan Minang Singapura yang ikut dalam perjalanan itu. Agaknya ia tidak berlebihan, karena memang kami masuk ke dalam tanah yang gelap, dan hanya ada lampu setiap beberapa meter. Hanya lampu di helm yang menjadi pemandu agar tidak tersandung rel kereta pembawa batubara dan juga jalanan yang becek di dalam tambang. Tapi suasana jauh dari pengap bahkan sangat segar karena memang pasokan udara yang disedot ke dalam tambang selalu tersedia demi keselamatan para penambang.

swl2.JPG ‘Indiana Jones’ berpose di dalam tambang

Usai berkeliling tambang kami masuk kembali ke tengah kota. Dalam hati saya berpikir, kota mati tempat wisata tambang di Kentucky dan Virgina Amerika tidak ada apa-apanya dibanding Sawahlunto. Kota ini masih sangat hidup dengan masyarakat, budaya dan jangan lupakan makanan yang khas. Saya misalnya tidak akan pernah melupakan rasa dendeng batokok yang dibaluri minyak kelapa buatan sendiri, yang membayangkannya saja masih menetes air liur ini.

Bagi saya, seluruh kota adalah asset wisata yang menyatu. Menelusuri seluk beluk kota Sawahlunto sendiri sudah ibarat memasuki lorong waktu dengan rumah-rumah jaman Belanda. Gedung-gedung yang menarik diantaranya adalah Wisma Ombilin yang di zaman belanda dulu adalah hotel Ombilin, lalu sebuah gedung tempat para meneer-meneer Belanda berpesta dansa, dan yang tak kalah menarik adalah bekas-bekas tambang seperti silo dan menara yang tinggi menjulang dan masih terawat hingga kini. Demikian juga dengan stasiun kereta api yang dulu digunakan mengangkut batubara ke Pelabuhan Teluk Bayur. Sebuah asset wisata tambang yang sayang rasanya kalau tidak terus dibangkitkan potensinya.

Ketika berkesempatan melakukan wawancara dengan Walikota Sawahlunto, H.Amran Nur, makin tercenganglah saya mendengar segala obsesinya tentang kota asalnya itu. Terobosan membuka potensi wisata Sawahlunto tidak berhenti sampai disitu. Menurut Walikota Amran Nur, tahun depan akan mulai dibangun skylift alias kereta gantung yang menghubungkan antara satu bukit ke bukit lain yang mengepung kota Sawahlunto. Kereta gantung itu akan melewati pusat kota, dan bisa dipastikan pemandangannya akan sangat indah.

“Tinggal hotel yang memadai belum kita miliki,” kata Amran Nur. “Memang masih susah mencari investor, tapi kita akan mulai membangunnya. Insya Allah setelah itu kalau ada investor yang tertarik ya silahkan,” tambahnya.

Dalam hati saya berpikir, seperti apakah gerangan Sawahlunto saat semua obsesi itu terwujud. Saya membayangkan sebuah paket wisata lengkap di sebuah kota yang menjadi salah satu pusat tambang batubara terbesar di Indonesia bahkan dunia. Mulai dari memasuki tambang, menelusuri kota bahkan mungkin merasakan pesta dansa dansi seperti para noni dan meneer Belanda di sebuah gedung tua, merasakan kehidupan manusia rantai, naik kereta tambang lorong besar dan malam harinya menyaksikan keindahan kota kuali itu dari atas kereta gantung. “I’m sure it’s going to be breathtaking,” kata kawan Singapura saya.

picture6.jpg

Foto arsip: Manusia rantai yang baru tiba dari Jawa

Sawahlunto yang kata orang sudah mulai mati karena asset batubaranya yang tinggal beberapa puluh tahun lagi, rasanya akan bangkit karena ternyata mereka masih punya asset lain yaitu kota itu sendiri dengan seluruh penduduk dan peninggalan sejarahnya yang masih terpelihara dan buat saya pribadi, semoga jangan keburu tersentuh modernisasi yang berlebihan, karena justru disitulah letak asset kota ini.

picture7.gif

Panci raksasa tempat memasak makanan para pekerja tambang

Melengkapi ketercengangan saya, kami pun menutup kunjungan ke Sawahlunto ke daerah Kandi di mana terletak sebuah danau yang dulunya adalah bekas tambang. Danau itu tengah dikembangkan menjadi sebuah tempat wisata yang indah, lengkap dengan sebuah kebun binatang kecil. Tak ketinggalan sebuah tempat pacuan kuda yang terletak di puncak bukit. Ya.. di mana lagi di dunia ini ada tempat pacuan kuda yang terletak di atas bukit..?

Sebagai penutup, kami mampir di Water Boom, sebuah tempat wisata baru dimana pengunjung bisa berenang dan main air sepuasnya dengan air segar dari pegunungan. Water Boom ini saja sudah mampu menyerap wisatawan lokal dari berbagai daerah di Sumatera Barat bahkan hingga ke Jambi dan Pekanbaru. Apalagi kalau nanti semua potensi itu sudah terintegrasi, lengkap dengan kereta gantung dan hotel yang memadai.

Ah, pengalaman yang tak terlupakan. Saya pastinya akan kembali ke Sawahlunto suatu saat. Yang jelas, begitu sampai di Singapura nanti, saya harus segera berkirim email ke teman saya dan bercerita betapa kota tambang mati di Amerika yang dikunjunginya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Sawahlunto. Kota ini masih hidup dan luar biasa indahnya..

Rane Hafied Seorang jurnalis di Singapura http://anotherfool.wordpress.com

rane — January 2, 2008 / 1:22 pm

0 komentar:

Posting Komentar