Selasa, 14 September 2010

Mudik untuk Tujuan Takwa

Oleh: Ahmad Munjin


(inilah.com /Dokumen)

INILAH.COM, Jakarta – Mudik merupakan rutinitas tahunan. Tujuannya adalah silaturahmi. Namun, sejatinya pemudik lebih mementingkan takwa karena mudik terkait erat dengan puasa. Alhasil, mudik jangan melupakan puasa maupun makna silaturahmi itu sendiri.

Guru besar perbandingan agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Kautsar Azhari Noer mengatakan mudik bukan hanya rutinitas tahunan tanpa makna. Melainkan, menjalankan perintah agama untuk memelihara, membina, dan memperkuat silaturahmi.

Silaturrahmi untuk berbagi kebahagiaan, menyambung hubungan yang sudah putus atau meneruskan yang sudah terjalin. Tapi karena mudik terkait puasa, tujuan takwa harus diutamakan. “Saya khawatir pemudik malah melupakan puasa dan takwanya,” katanya dalam sebuah kesempatan.

Takwa bermakna ‘memelihara diri’ yang berasal dari kata waqa. Artinya, memelihara atau berjaga-jaga. Karena itu, takwa adalah memelihara diri dari sesuatu yang membuat menderita atau segala sesuatu yang membahayakan diri baik di dunia maupun di akhirat.

Pada kenyataannya, puasa lebih cenderung didominasi unsur komersialisasinya ketimbang tujuan spiritualnya yaitu takwa. “Nggak salah sih orang bergerak di bidang komersil tapi kadang-kadang tujuan utamanya dilupakan,” tukasnya.

Menurut Kautsar belanja makanan lebih banyak justru pada bulan puasa. Padahal logikanya, karena puasa seharusnya belanja makanan lebih sedikit dibandingkan bulan biasanya. Ibadah yang lain pun bahkan sering menonjolkan unsur komersilnya dibandingkan unsur ibadahnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik sendiri berasal dari kata “udik” yang berarti sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau (daerah) di hulu sungai. Kata itu mengandung makna positif, yaitu bagian atas sungai atau bagian kepala sungai yang dekat sumber mata air, sehingga jernih dan belum terkena polusi.

Namun ada makna kedua dalam KBBI, yaitu “udik” berarti desa, dusun, kampung (lawan dari kota). Sayangnya kesan yang berkembang di masyarakat cenderung ke arah konotasi negatif karena “orang udik” atau “orang dusun” sering dikaitkan dengan kebodohan dan kurang tahu sopan santun. Lalu, mengapa orang harus repot-repot menjalankan tradisi itu?

Sosiolog, Munandar Sulaiman mengungkapkan banyak nilai yang terkandung dalam tradisi mudik. Misalnya, selain menjaga silaturahmi dengan kerabat di kampung halaman atau jauh juga agar manusia tetap ingat kepada asal-muasalnya.

Mudik juga bisa jadi momen “unjuk diri” yaitu ajang di mana pemudik menunjukkan eksistensi dan keberhasilan seseorang selama di perantauan kepada masyarakat tempat dia berasal. ”Ya, makna mudik mulai mengalami pergeseran nilai dengan terkontaminasi oleh adanya kegiatan pamer kekayaan,” imbuhnya.

Tanpa disadari masyarakat kampung ternyata ikut mulai terkontaminasi oleh budaya feodal tersebut. Mereka, lanjut Munandar cenderung lebih menghargai mereka yang membawa kendaraan, harta benda yang banyak dan mentereng ketimbang yang tidak punya apa-apa. “Padahal seharusnya hikmah mudik yang terbesar dan dikedepankan adalah momentum kembali ke fitrah,” ucapnya.

Bukan pamer kekayaan, melainkan sungkem dan berbaik-baikan pada orang tua. “Karena pertemuan dengan orang tua, kerabat, saudara, sahabat mampu menjadi motivasi/spirit yang luar biasa,” pungkasnya. [E1]

0 komentar:

Posting Komentar