terlepas dari (kemungkinan) perbedaan (tapi sudah pasti) penetapan 1 Ramadhan tahun ini, kenapa slalu berbeda karena "Akar dari perbedaan pendapat tersebut terutama
disebabkan oleh adanya perbedaan kriteria penentuan awal bulan di kalangan umat
Islam itu sendiri." NAMUN semua berhak SUJUD kembali ke fitrah......
Posted on Juli 5, 2012 by
vandalismeintelektual
Sehubungan dengan semakin dekatnya
Ramadhan dan Syawal 1433 H, dan karena banyak sekali pertanyaan seputar kapan
mulainya awal bulan-bulan tersebut, saya memutuskan untuk menyampaikan ulasan
mengenai kemungkinan awal bulan Ramadhan dan Syawal 1433 H/ 2012 M.
Sebelumnya, saya ingin menyampaikan
bahwa kemungkinan besar, saya ulangi lagi, kemungkinan BESAR awal Ramadhan 1433
H bagi kaum muslimin khususnya di Indonesia akan terbagi menjadi dua. Hal ini
sebenarnya sudah dimaklumi oleh hampir semua orang. Tapi, kali ini perbedaan
pendapat tersebut dirasa akan sangat sulit diicari titik temunya. Akar dari
perbedaan pendapat tersebut terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kriteria
penentuan awal bulan di kalangan umat Islam itu sendiri. Namun, di sini saya
lebih fokus pada penjelasan mengenai aspek empiris mengenai visibilitas hilal
yang terjadi pada saat awal Ramadhan dan awal Syawal. Jangan berharap bahwa
saya akan memberikan informasi/fatwa kapan pastinya awal Ramadhan dan Syawal
karena saya tidak berhak memutuskannya. Baiklah, saya akan menjelaskannya untuk
masing-masing bulan. Namun, sebelumnya saya ingin memberikan penjelasan awal
mengenai tanda-tanda umum pergantian bulan dalam kalender hijriyah agar pembaca
memahami konteksnya.
Kaidah Umum Penentuan Awal Bulan
Hijriyah
Dalam penentuan awal bulan hijriyah,
ada beberapa tanda yang harus diperhatikan. Berikut ini beberapa kaidah dan
kriteria yang umum digunakan dalam menetapkan awal bulan hijriyah (ijtima’ qoblal
ghurub/ konjungsi sebelum tenggelamnya Matahari). Penjelasan di sini akan
disampaikan secara sederhana dan tidak detail demi mempermudah pemahaman
pembaca.
1. Konjungsi (Ijtima’)
keadaan di mana Bumi – Bulan -
Matahari berada pada satu garis lurus sehingga Bulan sama sekali tidak tampak
dari Bumi karena bagian Bulan yang tersinari cahaya Matahari membelakangi Bumi.
Konjungsi terjadi satu bulan sekali atau lebih tepatnya terjadi dalam waktu
29,5 hari atau dikenal sebagai periode sinodis. Konjungsi dapat terjadi kapan
saja, dalam arti bisa terjadi saat siang, malam, sore, atau pagi hari.
Gambar 1. Sketsa sederhana saat fase
konjungsi terjadi. Bagian Bulan yang menghadap Bumi tidak menerima cahaya
Matahari sama sekali. Jika saat konjungsi terjadi, posisi Bumi, Bulan dan
Matahari berada pada bidang ekliptika (bidang edar Bumi) maka akan terjadi
gerhana Matahari, tetapi ini tidak selalu terjadi setiap bulan.
2. Terbenamnya Matahari dan Bulan
Penentuan awal bulan sangat
ditentukan oleh waktu terbenamnya Matahari dan Bulan. Matahari dinyatakan
tenggelam saat Matahari sudah sepenuhnya berada di bawah horizon atau garis
cakrawala. Begitu juga dengan makna tenggelamnya Bulan. Waktu tenggelamnya
Matahari dikenal sebagai maghrib. Pada saat maghrib terjadi, ada kalanya Bulan
belum tenggelam. Artinya, Bulan masih berada di atas horizon. Jika saat
Matahari telah tenggelam, tetapi Bulan belum tenggelam, maka kita kemungkinan
dapat melihat Bulan karena sinar Matahari sudah redup sehingga cahaya Bulan
bisa tampak oleh mata kita. Awal bulan hijriyah
terjadi jika Matahari tenggelam lebih dahulu daripada Bulan.
Gambar 2. Matahari sudah tenggelam
dan Bulan belum tenggelam.
3. Pergantian hari saat maghrib
Berbeda dengan hari dalam kalender
syamsiah yang berganti setiap pukul 12 malam, dalam penanggalan hijriyah, hari
(tanggal) berganti saat Matahari tenggelam (maghrib). Misalnya saat ini tanggal
15 Sya’ban hari Kamis, berarti saat Matahari tenggelam sore hari nanti itu
sudah masuk tanggal 16 Sya’ban hari Jum’at.
4. Konjungsi terjadi sebelum
Matahari tenggelam
Seperti telah dinyatakan dalam poin
1, konjungsi dapat terjadi kapan saja, bisa siang, malam, pagi, sore, atau
kapanpun. Nah, syarat masuknya awal bulan adalah ketika konjungsi terjadi
sebelum Matahari (dan Bulan tentunya) tenggelam. Contoh, bila konjungsi terjadi
pukul 19.00, maka pada saat Matahari tenggelam (misalnya pukul 18.00) berarti
itu belum bisa dinyatakan sebagai pergantian awal bulan karena Matahari
tenggelam lebih dulu terjadi sebelum konjungsi. Dalam kasus ini, berarti awal
bulan akan dimulai (kemungkinan) pada saat Matahari tenggelam keesokan harinya.
Selisih waktu antara konjungsi dan saat Matahari tenggelam tersebut dinamakan
sebagai umur Bulan. Sekali lagi, jangan lupakan juga poin nomor 2 yakni Bulan
tenggelam setelah Matahari tenggelam.
Perhatikan contoh berikut:
Misalkan, suatu konjungsi terjadi
pada pukul 07.00. Pada hari itu, Matahari tenggelam pada pukul 18.00, sedangkan
Bulan tenggelam pada pukul 18.30. Berarti, pada saat maghrib (Matahari
tenggelam), umur bulan adalah 18.00 – 07.00 = 11 jam. Pada saat itu, Bulan
tentu masih berada di atas horizon karena memang tenggelamnya lebih belakang
dari Matahari. Saat Matahari tenggelam, Bulan berada di atas horizon dengan
ketinggian tertentu. Ketinggian Bulan di atas horizon itu dinamakan sebagai
ketinggian Bulan yang biasanya dinyatakan dalam derajat. Misalkan, saat itu
Bulan memiliki ketinggian 4 derajat. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar
berikut yang menjelaskan keadaan yang telah diterangkan sebelumnya.
Gambar 3. Saat-saat penting yang
diamati dalam penentuan awal bulan. Contohnya, saat Matahari tenggelam, Bulan
berada di atas horizon dengan ketinggian 4 derajat dan umur bulan 11 jam.
Jika misalkan kondisi pada gambar 3
telah terpenuhi, maka saat maghrib itu (kemungkinan) sudah bisa dinyatakan
sebagai masuk bulan baru. Mengapa masih ada kata kemungkinan? Karena syarat
atau kriteria yang diyakini oleh sebagian orang adalah keadaan tersebut hanya
dapat ditetapkan sebagai awal bulan jika Bulan (hilal) dapat dilihat dengan
mata telanjang.
Saya akan bertanya kepada Anda,
apakah jika kondisi pada gambar 3 itu terpenuhi, Bulan (dalam bahasa Arab
disebut hilal) dapat dilihat dengan mata telanjang? Jawabannya, belum tentu.
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, hilal
(Bulan) bisa saja tidak terlihat karena ketinggiannya masih terlalu rendah dari
horizon sehingga sulit dilihat. Kedua,
jaraknya dari Matahari terlalu dekat sehingga cahaya Bulan masih kalah kuat
dibandingkan sinar Matahari yang tampak sebagai mega. Ketiga, ada banyak awan
di atas horizon sehingga Bulan (hilal) tidak tampak.
Lalu, bagaimana kemudian? Itulah
permasalahan yang menjadi polemik hingga hari ini. Apakah memang untuk
menentukan awal bulan baru harus ada kriteria terlihatnya Bulan ataukah cukup
kita mengetahui dengan ilmu falaq/astronomi bahwa perhitungan/kalkulasi (hisab)
sudah mengetahui jika hilal di atas horizon (ufuk) saat Matahari tengelam? Saya
tidak akan membahasnya panjang lebar di sini karena akan bisa diulas sendiri
dalam satu buku besar yang perlu waktu satu bulan penuh untuk menyusunnya.
Silahkan Anda baca-baca buku sendiri yang berkaitan dengan itu.
Yang pasti, umur hilal (Bulan) di
setiap tempat berbeda-beda bergantung pada lintang-bujur dan lain-lain. Artinya,
mungkin di suatu tempat di Indonesia keadaan seperti gambar 3 terpenuhi, tetapi
di Arab Saudi sana keadaannya saat Matahari tenggelam beda lagi. Itu sudah
menjadi hal yang pasti dalam alam ini. Kita tidak bisa menyamakan keadaan suatu
tempat dengan tempat lainnya, apalagi jika jaraknya sangat jauh. Untuk wilayah
Indonesia, keadaan penampakan (visibilitas) hilal relatif serupa antara satu
tempat dengan tempat lainnya.
Sebagai referensi dalam ulasan ini,
saya gunakan Jakarta sebagai titik perhitungan karena alasan sederhana, yakni
Jakarta adalah ibukota negara. Dalam perhitungan berikutnya, saya menggunakan
perangkat lunak Accurate Times 5.1 yang dibuat oleh Muhammad Odeh dari
Yordania. Perhitungan ini anggap saja taken for granted (benar semua)
karena kalaupun ada kesalahan maka insya Allah errornya tidak signifikan
sehingga sampai berbeda jauh dengan kenyataan aslinya nanti.
Ramadhan 1433 H
Accurate Times menghitung bahwa konjungsi (ijtima’) pada awal Ramadhan
1433 H terjadi pada tanggal 19 Juli 2012 pukul 11.10 WIB. Matahari tenggelam
pada pukul 17.53 WIB dan Bulan tenggelam pada pukul 18.01 WIB. Artinya, umur
bulan saat Matahari tenggelam adalah 6 jam 43 menit. Ketinggian Bulan pada saat
itu adalah 1 derajat 52 menit busur.
Berdasarkan pengalaman, hilal
(Bulan) dengan ketinggian yang sangat rendah seperti itu dan umur bulan yang
hanya 6 jam 43 menit akan sangat-sangat sulit diamati. Memang bukan mustahil
karena memang Bulan masih berada di atas horizon, tetapi bisa dikatakan itu
tidak mungkin dilakukan oleh mata orang normal. Mungkin jika yang melihatnya
superman atau manusia sakti mandraguna bisa dilakukan. Namun, saya cukup yakin
untuk mengatakan bahwa hilal akan sangat sulit terlihat pada saat maghrib
tanggal 19 Juli.
Gambar 4. Visibilitas hilal (kemungkinan
penampakan Bulan) pada tanggal 19 Juli 2012 di seluruh dunia. Wilayah Indonesia
masuk ke dalam kategori tidak mungkin dilihat (not possible) sama seperti
Saudi, wilayah Asia Timur dan Utara termasuk Eropa bahkan masuk kategori
mustahil (impossible). Hilal hanya dapat dilihat pada daerah Amerika Selatan
dan Samudera Pasifik.
Menurut Kanjeng Nabi SAW, jika hilal
tidak terlihat, maka jumlah hari dalam suatu bulan harus digenapkan menjadi 30
hari. Artinya, awal Ramadhan baru akan masuk pada saat maghrib keesokan harinya
yaitu tanggal 20 Juli 2012. Pada saat itu, umur bulan sudah mencapai 30 jam 43
menit dan ketinggiannya mencapai 12 derajat 48 menit busur. Keadaan itu sudah
lebih dari cukup untuk menyaksikan Bulan saat matahari tenggelam. Berarti, maghrib
tanggal 20 Juli akan masuk awal Ramadhan sehingga malam harinya sudah taraweh
dan tanggal 21 Juli akan mulai puasa. Namun, ini menurut anggapan orang yang
meyakini bahwa penetapan awal bulan harus menyaratkan terlihatnya hilal
(Bulan).
Bagaimana dengan yang menganggap
terlihatnya hilal bukan sebagai persyaratan untuk penetapan awal bulan? Tentu
saja mereka tidak perlu menunggu hilal terlihat atau tidak. Yang penting,
pada tanggal 19 Juli 2012 konjungsi terjadi sebelum maghrib dan hilal di
atas ufuk. Cukup. Bagi mereka yang beranggapan seperti ini, berarti mereka
sudah mulai taraweh saat malam tanggal 19 Juli dan mulai puasa tanggal 20 Juli
2012.
Bagaimana jika di luar negeri mereka
sudah mulai berpuasa pada tanggal 20 Juli 2012? Misalkan di Saudi Arabia ada
yang mengaku melihat hilal pada tanggal 19 Juli, apakah otomatis seluruh dunia
akan masuk ke bulan Ramadhan pada saat itu juga? Bagi para penganut faham
ru’yat hilal global, seluruh dunia sudah masuk ke dalam waktu Ramadhan jika di
suatu tempat di muka bumi ada yang sudah melihat hilal. Namun, apakah itu bisa
diterima? Silahkan lihat peta visibilitas hilal pada Gambar 4 dan pikirkan
sendiri jawabannya.
Syawal 1433 H
Keadaan saat Syawal 1433 H lebih
menguntungkan dibandingkan saat Ramadhan. Ini dikarenakan umur dan ketinggian
hilal sudah relatif cukup mendukung terliatnya hilal sehingga kemungkinan besar
tidak ada perbedaan waktu perayaan hari raya. Konjungsi Syawal terjadi pada
tanggal 17 Agustus 2012 pukul 23.11 WIB. Karena terjadi pada saat malam
(Matahari tanggal 17 Agustus sudah temggelam), berarti hilal dihitung untuk
maghrib tanggal 18 Agustus 2012. Pada tanggal 18 Agustus 2012, umur Bulan sudah
mencapai 18 jam 43 menit dan ketinggiannya mencapai 6 derajat 40 menit. Umur
dan ketinggian hilal diperkirakan akan menunjang besarnya kemungkinan hilal
terlihat pada tanggal 18 Agustus 2012 sehingga awal bulan Syawal akan masuk
saat maghrib tanggal 18 Agustus. Oleh karena itu, tanggal 19 Agustus 2012 kita
akan merayakan Idul Fitri (Lebaran) yang insya Allah akan dirayakan secara
serentak di Indonesia dan di seluruh dunia.

Gambar 5. Visibilitas hilal pada
tanggal 18 Agustus 2012 yang menandakan masuknya bulan Syawal 1433 H atau 2012
M.
Demikian ulasan mengenai kemungkinan
awal Ramadhan dan Syawal 1433 H/ 2012 M. Semoga dapat menambah wawasan dan
menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kawan-kawan semua.
(The Vandalist)